BANNER SLIDE

BPK Dorong Penghematan Anggaran

Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendorong pemerintah mendatang untuk memperbanyak pembangunan kilang minyak di dalam negeri. Anggaran pembangunannya bisa diupayakan dari penghematan dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Anggota BPK Bahrullah Akbar mengatakan pembangunan kilang sangat penting untuk meningkatkan produksi BBM di dalam negeri. Dengan begitu impor minyak bisa dikurangi.

"Membangun kilang itu membutuhkan waktu 3 tahun dan dana triliunan. Jadi kita bisa meleverage dana dari efisiensi BBM untuk membangun kilang. Misalnya anggaran subsidi BBM hemat Rp 100 triliun, kita alokasikan sekian triliun diperuntukan pembangunan kilang Pertamina," katanya dalam acara "Rembuk Nasional Kebijakan Tata Kelola Migas Untuk Kesejahteraan Rakyat", di Jakarta, Senin (8/9).

Dia mengungkapkan, saat ini, produksi minyak dalam negeri hanya sebesar 850 ribu barel per hari (bph), sedangkan kebutuhannya mencapai 1,4 juta bph. Untuk menutupi kekurangannya, pemerintah harus mengimpor minyak 400 bph. "Untuk impor, dalam satu hari butuh Rp 1,2 triliun atau sekitar USD 100 juta lah," tambahnya.

Dia menambahkan, produksi minyak nasional juga bakal meningkat jika pemerintah mempercepat proyek pengembangan migas di laut dalam atau Indonesian Deepwater Development (IDD).

Sedangkan menurut Komaidi, pengamat energi Refor MinerInstitute, menilai mungkin saja pemerintahan baru nantinya bisa membangun kilang. Namun ini tergantung seberapa kuat kehendak sipucuk pimpinan.

"Di negara lain seperti Brasil atau Argentina yang kondisi fiskalnya hampir mirip dengan kita saja bisa membangun kilang. Jadi ini tergantung will-nya," kata Komaidi.

Komaidi sendiri tidak terlalu optimistis baik Prabowo maupun Jokowi mampu membangun kilang baru di masa pemerintahan mereka. "Mungkin peluangnya 50-50," ujarnya.

Soalnya, lanjut Komaidi, membangun kilang bukan urusan mudah. Pertama, bisnis kilang bukanlah sesuatu yang mendatangkan untung besar. "Margin-nya tipis, mungkin sekitar 3-6%. Jauh dibandingkan bisnis migas lain lebih dari 10%. Jadi kalau tidak ada insentif dari pemerintah akan sulit," tutur Komaidi.

Di negara Iain, tambah Komaidi, pemerintah bisa memberi insentif berupa pembebasan pajak sampai 15 tahun. Namun di Indonesia, ini agak sulit dilakukan karena terbentur ego sektoral.

"Ditjen pajak tentu ingin rapornya tetap bagus. Masing-masing institusi ingin menjaga KPI (Key Performance Indicator)," tegas Komaidi.

Faktor kedua, menurut Komaidi, adalah pendanaan. Jika mengandalkan APBN tentu sulit, karena ruang fiskal sudah begitu sempit. Apalagi pemerintah harus mengeluarkan dana sampai Rp 300 triliun untuk subsidi.

Namun hambatan ini bisa diatasi, yaitu dengan mengurangi anggaran subsidi. "Kalau subsidi dipotong 50% sudah dapat Rp 150 triliun. Dana sebesar itu bisa dipakai untuk membangun kilang dengan kapasitas yang cukup memadai," jelas Komaidi.

Solusi lain yang bisa dikedepankan agar bisa membangun kilang, demikian Komaidi, adalah dengan menggandeng swasta. Akan tetapi juga tidak mudah, apalagi dua capres-cawapres ini punya ageda nasionalisme yang tinggi.

Harian Ekonomi Neraca

Bagikan konten ini: