BANNER SLIDE

Opini WTP dan Korupsi

Gunarwanto,

Chartered Accountant, Anggota Komite Profesi Akuntan Publik (KPAP)

Opini audit wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para pengelola keuangan negara. Para pejabat kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah berlomba memperoleh opini tersebut. Terlebih, pemerintah menjadikan opini wajar tanpa pengecualian sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan tata kelola yang baik (good governance).

Masalahnya, opini WTP ternyata tak menjamin tidak adanya korupsi. Di beberapa entitas yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi. Misalnya, Kementerian Agama mendapat WTP, belakangan ditemukan korupsi. Provinsi Sumatera Utara mendapat WTP, tapi Gubernur terlibat korupsi. Hal sama terjadi di beberapa entitas pemerintah. Kasus korupsi pada entitas yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tak sedikit yang mensinyalir opini WTP bisa diperjualbelikan.

Maka, tak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi jelek. Sebab, masyarakat tak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi maka audit nya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan untuk memberikan jaminan tidak ada korupsi.

Setiap tahun BPK memeriksa laporan keuangan entitas pemerintah dengan tujuan memberi opini atas kewajaran laporan keuangan. Menurut standar audit, ada empat jenis opini sesuai tingkat kewajarannya, yaitu: wajar tanpa pengecualian (WTP), wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar (TW), dan tidak memberikan pendapat (TMP).

Agar laporan keuangan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka harus disusun sesuai standar akuntansi. Opini WTP diberikan jika dalam segala hal yang material, laporan keuangan sudah sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Sedang WDP jika ada ketidaksesuaian material satu atau beberapa pos laporan keuangan namun tidak mempengaruhi kewajarannya secara keseluruhan.

Sementara, TW jika laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tak menyajikan secara wajar. TMP atau disclaimer jika auditor dibatasi geraknya, tak bisa mengumpulkan bukti audit secara sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan.

Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri. Umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi di perusahaan besar atau entitas pemerintah yang memakai anggaran besar. Butuh biaya besar dan waktu lama memeriksa secara populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga sia-sia (basi) jika pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.

Penggunaan sampling merupakan praktik lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko, ada salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisa risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat dikurangi.

Situasi sulit

Auditor yang memeriksa sektor publik, khususnya di Indonesia, menghadapi situasi kompleks. Nilai dan jumlah transaksi di pemerintahan sangat besar, bahkan dibandingkan dengan suatu perusahaan yang besar sekalipun. Sering ditemukan penyimpangan berupa kemahalan harga (mark-up), pembelian barang dan jasa tak layak, fiktif dan lainnya. hal tersebut timbul karena sangat luasnya (massive) praktik korupsi dan kolusi di pemerintahan.

Situasi itu menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat "rekayasa". Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meski sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum.

Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin jika sudah memberikan opini WTP maka tak terjadi korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit karena tidak mungkin semua transaksi diperiksa.

Jadi, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP hanyalah penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan, bukan jaminan tidak ada korupsi. Jika dimaksudkan untuk menemukan korupsi, maka lebih tepat melalui audit investigatif.

Koran Kontan, Kamis (22 Juni 2017)

Bagikan konten ini: