BANNER SLIDE

Penyimpangan Anggaran Naik

Penggelembungan dan Perjalanan Fiktif Terjadi

Nilai penyimpangan anggaran yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara cenderung naik. Badan Pemeriksa Keuangan meminta pengawasan penggunaan anggaran diperketat agar kasus penyimpangan tidak berulang.


Hal tersebut terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1-2014 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Selasa (2/12). Ketua BPK Harry Azhar Azis menyampaikan laporan tersebut di DPR.

Laporan BPK menyebutkan, temuan penyimpangan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan mencapai Rp 10,93 triliun. Nilai tersebut meningkat dari temuan penyimpangan IHPS 1-2013 sebesar Rp 7,83 triliun.

Ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan dapat menyebabkan kerugian negara, potensi kerugian negara, kekurangan penerimaan, inefisiensi, dan anggaran tak efektif semakin tinggi. Temuan penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian negara naik dari Rp 1,37 triliun pada semester 1-2013 menjadi Rp 1,46 triliun di semester 1-2014.

Temuan-temuan tersebut baru sebatas hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dan laporan keuangan badan lainnya, seperti BUMN. Jika dipadukan dengan hasil pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), nilai temuan penyimpangan semester 1-2014 mencapai Rp 30,88 triliun.

Modus berulang

Anggota BPK, Achsanul Qosasi, menyatakan, pemeriksaan BPK menemukan modus penyimpangan anggaran selalu berulang setiap tahun. BPK meminta pemerintah pusat dan daerah mengetatkan pengawasan penyusunan dan membuat sistem penggunaan anggaran yang lebih baik.

"Dari temuan-temuan tersebut, ada yang terindikasi pidana korupsi. Terhadap (temuan) ini, kami melaporkannya kepada penegak hukum," kata AchsanuL

Modus yang kerap dipakai dan menyebabkan kerugian negara paling besar pada semester 1-2014 adalah penggelembungan nilai pengadaan barang dan jasa, yang mencapai Rp 527 miliar. Modus-modus ini umumnya dipakai dalam proyek-proyek pembangunan gedung-gedung pemerintah, jaringan jalan, dan pemeliharaan infrastruktur.

Modus lain yang juga kerap dilakukan adalah perjalanan dinas fiktif atau ganda. Orang yang ditugaskan melakukan perjalanan dinas tidak pergi dan hanya menitipkan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) mereka kepada orang lain yang berangkat untuk distempel di instansi tujuan sebagai bukti pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Praktik ini membuat negara merugi Rp 92,83 miliar selama semester 1-2014.

Laporan BPK mengungkapkan, penyimpangan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan di Kementerian Keuangan mencapai Rp 2,62 triliun serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bernilai Rp 2,52 triliun.

Di Kemendikbud, misalnya, penyimpangan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 102 miliar. BPK telah menemukan ada biaya perjalanan dinas fiktif di Kemendikbud senilai Rp 1,29 miliar serta penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa sebesar Rp 6,94 miliar pada semester 1-2014.

Secara terpisah. Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, peningkatan penyimpangan tersebut mengindikasikan korupsi anggaran pemerintah, baik di tingkat di pusat maupun di daerah, semakin marak.

"Laporan BPK tersebut bisa dipakai sebagai data awal atau peringatan dini dalam pemberantasan korupsi. KPK harus menindaklanjuti hal ini," kata Ade.

Ade menambahkan, dalam pengadaan barang dan jasa, penggunaan sistem elektronik (e-pro- curement) harus digalakkan. "Namun, yang lebih penting adalah mencegah terjadi korupsi politik di kementerian," katanya.

Pemerintahan Joko Widodo, menurut Ade, terlihat sudah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah penyimpangan di kementerian. Salah satu upaya tersebut adalah melakukan efisiensi dengan mengurangi kegiatan pertemuan lembaga pemerintah di luar kantor.

Aparat pemerintah bersama legislatif benar-benar memanfaatkan celah penyusunan anggaran untuk kepentingan mereka Hal ini membuat porsi belanja rutin, seperti biaya gaji pegawai negeri sipil, honorarium rapat perjalanan dinas, pengadaan perlengkapan kantor, dan pembelian mobil dinas, terus meningkat

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), organisasi nonpemerintah yang aktif memantau dan mengkritik struktur anggaran pemerintah mencatat pertumbuhan belanja pegawai negeri sipil selama tujuh tahun adalah 16 persen (Rp 22,18 triliun). Anggaran belanja pegawai negeri sipil tahun 2006 masih Rp 73,2 triliun dan tahun 2012 mencapai Rp 232,9 triliun atau melonjak 300 persen.

Koordinator Fitra Uchok Sky Khadafi mengatakan, kasus-kasus kerugian negara sebagian besar terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab lalai dan tidak cermat. Selain itu, pengawasan dan pengendalian dari inspektorat jenderal juga lemah.

Menurut Uchok, pejabat yang lalai tersebut seharusnya mendapatkan sanksi yang setimpal agar lebih berhati-hati menggunakan anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat

Khusus untuk Kemendikbud, Uchok mendesak agar dilakukan pengawasan yang lebih ketat mengingat kementerian tersebut mengelola anggaran yang sangat besar. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2008, yang menegaskan amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, pemerintah harus mengalokasikan sedikitnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk kebutuhan pendidikan nasional.

Belum tentu kerugian

Saat dikonfirmasi. Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Naim mengatakan, dirinya belum mengetahui laporan BPK tersebut. Dia mengatakan, biasanya laporan diserahkan ke Kemendikbud setelah dipaparkan di DPR.

Ainun menyatakan, potensi kerugian belum tentu terjadi karena bisa saja akibat kekurangan data atau bukti penggunaan anggaran yang masih bisa dilengkapi demi keabsahan pelaporan. Artinya, belum jelas kerugian yang dimaksud dan bisa saja hal itu merupakan akumulasi dari tahun sebelumnya. "Saya belum mendapat hasil audit atau temuan itu," kata Ainun.


Inefisiensi KTP

Laporan BPK juga menyinggung inefisiensi program administrasi kependudukan dalam proyek kartu tanda penduduk (KTP) elektronik di Kementerian Dalam Negeri. BPK menemukan, proyek KTP elektronik tidak mencapai target dengan inefi siensi ratusan miliar rupiah.

Harry menyebutkan, penerbitan KTP elektronik ditargetkan mencakup 172 juta penduduk wajib KTP tahun 2011 dan 2012 dengan nilai proyek Rp 5,59 triliun. Pemeriksaan yang dilakukan BPK, menurut Harry, bersifat audit kinerja.

Tujuannya adalah untuk menilai efektivitas penerapan KTP elektronik pada 2013. Obyek pemeriksaannya meliputi Kementerian Dalam Negeri dan tujuh pemerintah provinsi.

BPK menemukan antara lain 11 kasus ketidakefektifan senilai Rp 357,2 miliar dan kasus kerugian negara senilai Rp 24,9 miliar. Dalam pendistribusian KTP elektronik kepada masyarakat yang berhak, BPK menemukan bahwa target tidak tercapai sampai dengan tanggal kontrak berakhir.

Targetnya, 145 juta keping KTP elektronik terdistribusikan. Namun, faktanya, baru 120,11 juta KTP elektronik yang sudah didistribusikan.

Hal ini membuat sedikitnya 27 juta orang wajib KTP belum menerima KTP elektronik. Selain itu, sedikitnya 24,89 juta penduduk terlambat menerima KTP elektronik. Dewi (34), seorang karyawan swasta di Jakarta asal Yogyakarta, misalnya, sudah menjalani semua proses pendaftaran KTP elektronik pada tahun 2012. "Sudah selesai foto," kata Dewi. Namun, Dewi masih belum menerima KTP elektronik.


Disidik KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai mendalami program KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri. Sejauh ini, KPK telah menetapkan pejabat pembuat komitmen di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, sebagai tersangka.

Dihubungi di Semarang, Jawa Tengah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya menyerahkan hasil laporan BPK kepada aparat penegak hukum, terutama KPK. "Kita serahkan saja kepada KPK yang tentunya akan menyelidikinya sampai tuntas," ujarnya.

Meski demikian, Tjahjo meminta perhatian khusus kepada seluruh jajaran Kementerian Dalam Negeri agar inefisiensi, bahkan sampai terjadi kerugian negara, seperti yang terjadi pada proyek KTP elektronik, tidak terulang di Kementerian Dalam Negeri.

Sementara itu, terkait dengan KTP elektronik. Tjahjo menginstruksikan agar ada pembenahan seluruh sistem dan pembenahan itu harus tuntas pada Januari 2015. Perlunya pembenahan ini disampaikan kepada semua dinas kependudukan dan pencatatan sipil di seluruh Indonesia

"Setelah sistem clear dan clean, baru KTP elektronik diberikan kepada masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan jaminan dari negara," kata Tjahjo. (FAJ/APA/LAS/ELN)

Kompas

Bagikan konten ini: