BANNER SLIDE

Memotret Otonomi Daerah Desentralisasi Fiskal

kebijakan otonomi daerah. Amanat UU 32/2004 mewujudkan pemerataan kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Daerah-daerah yang diberikan kewenangan mengurusi dirinya sendiri justru memanggul beban masalah yang besar, terutama ketidakberesan mengelola APBD untuk rakyat.

Rizal Djalil melalui bukunya yang berjudul "AKUNTABILITAS KEUANGAN DAERAH; Implementasi PascaReformasi" mengungkap secara sistematis abnormalitas pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama lebih dari satu dekade. Tesis yang ingin dibuktikannya bahwa ternyata kebijakan desentralisasi itu belum mampu diikuti oleh komitmen para pejabat daerah untuk sungguh-sungguh menjalankan reformasi birokrasi. Good governance belum terwujud.

BPK menyebutkan selama empat semester terakhir menunjukkan tren jumlah kasus kerugian negara semakin meningkat dan tingkat penyelesaiannya turun pada semester I tahun anggaran 2013. Pada semester I TA 2013 juga meningkat hingga 24,56 persen dari semester sebelumnya (h.462). Temuan inilah yang dilaporkan BPK kepada kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk segera ditindaklanjuti bila melawan hukum.

Kewenangan BPK yang diatur dalam UU No. 15 tahun 2006, membuatnya lebih independen memeriksa para pejabat daerah, sehingga sekecil apapun kerugian negara dapat diantisipasi. Padahal, ikhtiar itu, pasca reformasi masih terkendala oleh peraturan perundangan yang belum harmonis antara pusat dan daerah. BPK hanya diperbolehkan memeriksa pengeluaran anggaran negara. Bahkan, berdasarkan UU Pajak yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, BPK dilarang memeriksa penerimaan pajak tanpa seijin Menteri Keuangan.

Rizal Djalil waktu itu anggota Komisi XI DPR mendukung BPK agar mengganti UU tentang BPK RI dari UU No. 5 tahun 1973 dengan UU No. 15 tahun 2006. Aturan ini membuatnya lebih independen. Organisasinya yang tadinya diatur oleh Menpan, kini ditetapkannya sendiri. Pimpinannya yang sebelumnya ditunjuk oleh pemerintah dan dilantik Presiden, kini anggota BPK RI dipilih DPR RI, sedang ketuanya mereka pilih sendiri antara sesama mereka dan dilantik oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya, dengan adanya UU No. 15 tahun 2006, diberi kewenangan melaporkan indikasi penyimpangan kepada DPR-RI dan penegak hukum. Hasilnya, seperti saat ini. BPK menjadi lembaga yang berwibawa dan masyarakat menaruh kepercayaan padanya.

Pemeriksaan keuangan negara harus semakin transparan dan akuntabel, akurat dan tepat waktu. Hal tersebut diperlukan untuk mewujudkan empat tujuan sekaligus; Pertama, mewujudkan demokrasi politik dengan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, menjaga keutuhan NKRI guna meniadakan rasa curiga antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antar semua Pemda. Ketiga, meningkatkan produktivitas serta efisiensi perusahaan negara guna meningkatkan produktivitas serta efisiensi perekonomian. Keempat, mendeteksi masalah sebelum terjadinya krisis. Dalam sejarah Indonesia, salah satu sumber penyebab utama terjadinya krisis ekonomi adalah karena tidak adanya transparansi dan yang berada di bawah standar.

Dengan demikian, seperti dikatakan dalam buku ini, bahwa transparansi .dan akuntabilitas fiskal atau keuangan negara memang menjadi semakin penting karena Indonesia menjalankan sistem ekonomi campuran (mixed economic system). Dalam sistem ekonomi campuran, negara bukan saja memproduksi jasa-jasa publik (public goods), seperti pertahanan dan keamanan. Melalui BUMN dan BUMD, negara dalam sistem ekonomi campuran sekaligus memproduksi berbagai jenis barang dan jasa privat (privat goods).

Kehadiran buku ini pun menjadi tepat, karena selain membahas bagaimana implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama lebih dari satu dekade, juga menyajikan teori/konsep, pelaksanaan dan permasalahan serta solusi reformasi keuangan daerah. Sebuah buku yang tentu saja dapat menjadi refleksi dan gambaran akan visi besar penulisnya dalam memimpin BPK ke depan.

Rakyat Merdeka

Bagikan konten ini: