Bendaharawan Belum Patuh Pajak
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah perbuatan melawan hukum dan ketidakpatuhan perpajakan dari 30 entitas bendaharawan negara.
Syafri Adnan Baharuddin, Auditor Utama Keuangan Negara II BPK, menuturkan pihaknya telah melakukan pemeriksaan kewajiban perpajakan atas pengelolaan anggaran negara, dengan sampel 11 kementerian/lembaga, sembilan pemerintah provinsi dan 10 pemerintah kota/kabupaten.
Melalui pemeriksaan terperinci atas 30 entitas bendaharawan negara tersebut didapati sejumlah permasalahan dalam pemungutan pajak. Pertama, ditemukan sejumlah kekeliruan pengenaan pajak yang mengakibatkan lebih potong Rp54,81 miliar dan kurang potong Rp368,70 miliar. Kekeliruannya seperti salah jenis pajak, pengenaan tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan ada objek pajak yang tidak atau tidak seharusnya dipungut.
Kedua, dari sisi penyetoran pajak, ada hasil pungut pajak yang diindikasi merupakan pajak fiktif, dan ada pula yang tidak atau terlambat disetorkan oleh bank persepsi. Nilai potensi kerugian negara dari ketidakpatuhan tersebut mencapai Rp859,64 miliar, dengan nilai potensi sanksi yang dikenakan Rpl3,69 miliar.
Ketiga, lanjut Sjafri, sebagian besar entitas yang diperiksa tidak dan terlambat menyampaikan su-rat pemberitahuan (SPT), dengan potensi sanksi mencapai Rp3.1 miliar.
Selain permasalahan tersebut, terdapat perbuatan melawan hukum, yakni terdapat indikasi setoran pajak fiktif sebesar Rp674,63 juta. Ada bendahara yang memiliki surat setoran pajak tidak tercatat.
"Sesuai dengan hasil uji silang terhadap modul penerimaan negara (MPN) dan konfirmasi ke KPPN dan bank persepsi, menunjukkan SSP tersebut tidak tercatat," ungkap dia dalam acara Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan Kewajiban Perpajakan, kemarin.
Taufiequrachman Ruki, anggota II BPK, menjelaskan fokus pemeriksaan tematik BPK pada tahun ini adalah menyoroti kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Untuk periode audit 2 bulan terakhir, BPK hanya fokus laporan kewajiban perpajakan atas 30 entitas bendaharawan negara 2010. "Kami menemukan 11% dari seluruh populasi ada potensi kurang bayar Rp368 miliar," ujar dia.
Tidak pahamBerdasarkan pemeriksaan, kata Ruki, diindikasi ada ketidakpatuhan murni dari objek pemeriksaan, ada pula ketidakpahaman bendaharawan negara terhadap aturan perpajakan. "Modusnya beragam, misalnya (pajak harus) disetor hari ini, ditunda 2-3 hari. Lalu yang seharusnya dipotong, ini malah tidak dipotong."
Dia menjelaskan setiap satuan kerja atau bendaharawan negara, dalam setiap transaksi belanjanya, wajib memperhitungkan kewajiban pajak yang kemudian harus disetorkan ke bendahara negara.
"Potensi kerugian itu tidak hilang, hanya belum terbayar karena ada yang terlambat setor. Jumlahnya tidak kecil. Anggap saja itu dari 10% populasi menghasilkan potensi kerugian Rp600 miliar, kalau 100% (entitas) dipukul rata kan bisa Rp6 triliun," tutur Ruki.
Berdasarkan kelompok pengenaan pajak, entitas yang paling besar potensi kurang bayar pajaknya adalah Kementerian Pertanahan Rp314,3 miliar dan Kementerian Keuangan Rpll,91 miliar. Kemudian diikuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa timur minus Rp7,49 miliar dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rp7,09 miliar.
Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti temuan BPK tersebut dengan meningkatkan koordinasi tidak hanya dengan bendaharawan kementerian/lembaga, tetapi juga dengan bendaharawan-bendaharawan di daerah.
Bisnis Indonesia