BANNER SLIDE

BPK Audit Kebijakan Pemangkasan Subsidi BBM

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan berencana melakukan audit kinerja terhadap kebijakan pemerintah dalam memangkas subsidi bahan bakar minyak. "Kami akan mengaudit apakah pengelolaan keuangan itu berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat atau justru kemiskinan dan pengangguran bertambah," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis kepada Tempo, kemarin.

BPK, ia menuturkan, akan memeriksa aliran dana hasil penghematan subsidi senilai lebih dari Rp 100 triliun tersebut. "Betul tidak masuk ke infrastruktur atau ke sektor produktif. Berapa tenaga kerja tercipta dan berapa tingkat kemiskinan," ucap Harry. Dari hasil audit kinerja itu, BPK akan menilai apakah kebijakan pemangkasan subsidi BBM tepat atau tidak.

Berkaitan dengan harga BBM bersubsidi, pada Selasa lalu, Indonesia Corruption Watch menyampaikan hasil telaah mengenai kebijakan Presiden Joko Widodo dalam menghapus subsidi Premium dan elpiji 12 kilogram. Menurut ICW, pelepasan Premium dan elpiji 12 kilogram kepada harga pasar berpotensi melanggar konstitusi.

"Pelepasan ini juga akan meniadakan proses pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak," ujar Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, ICW, Firdaus Ilyas.

Berdasarkan perhitungan ICW, ada indikasi pemahalan harga BBM dan elpiji lantaran harga yang dipakai tidak sesuai dengan harga pasar. Potensi total pemahalan harga per Januari 2015 untuk Premium mencapai Rp 1,44 triliun, solar Rp 909,9 miliar, dan elpiji Rp 128,8 miliar.

ICW mengatakan harga keekonomian Premium berada di angka Rp 7.013,67 per liter atau lebih mahal Rp 583,33 per liter dari harga saat ini, Rp 7.600 per liter. Di samping itu, harga keekonomian solar yang sebesar Rp 6.607,53 per liter membuat beban subsidi yang ditanggung negara bukan Rp 1.000 per liter, seperti klaim pemerintah, melainkan hanya Rp 303,18 per liter.

Harry memahami kekhawatiran ICW tersebut. Ia mengatakan BPK hanya bisa mengaudit jumlah uang negara yang digunakan untuk membayar subsidi. Dengan demikian, jika tak ada subsidi yang dikucurkan untuk Premium, BPK tidak punya kewenangan untuk mengaudit program pengadaan Premium.

Ketika dihubungi Tempo, Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Ahmad Bambang mengatakan perbedaan perhitungan harga jual BBM bersubsidi antara pemerintah dan ICW disebabkan oleh perbedaan penetapan harga Mid Oil Platts of Singapore (MOPS).

Bambang menjelaskan, pemerintah menggunakan rata-rata MOPS pada 25 November sampai 24 Desember 2014 untuk harga Januari 2015 sebesar US$ 77,8 per liter. "Sedangkan ICW hanya melihat MOPS hari ini," kata dia. Dalam perdagangan kemarin, harga minyak mentah jenis WTI berada pada posisi US$ 47,22 per barel, dan minyak mentah jenis Brent US$ 50,16 per barel.

Menurut dia, penetapan periode waktu untuk mematok rata-rata harga MOPS diperlukan manakala harga di pasar selalu bergerak. "Apakah harga jual itu harus berubah setiap hari sesuai MOPS terakhir? Bagaimana jika MOPS naik, apakah ICW juga akan bilang harga jual kemahalan atau rugi?"ujar dia.

Demikian juga mengenai indikasi pemahalan atas harga elpiji 12 kilogram. Menurut Bambang, formula penghitungan harga jualnya mengikuti harga rata-rata CP Aramco. "Silakan saja diaudit, apakah kalau kemarin kami rugi mereka juga bicara?" ujar dia.

Koran Tempo

Bagikan konten ini: