BANNER SLIDE

BPK Bergerak di Level Preventif dan Detentif

Pemberitaan media massa saat ini marak menginformasikan kasus korupsi yang merugikan negara. Dalam pemberitaan-pemberitaan itu, seringkali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampil menjadi “bintang”. Mereka kadang diinformasikan sedang menggeledah kantor pejabat hingga melontarkan keterangan-keterangan pers terkait kasus korupsi tertentu.

Akan tetapi, semua aksi yang dilakukan oleh KPK itu hanyalah rangkaian “akhir” dari seluruh rangkaian pengungkapan penyelewengan-penyelewengan yang sedang diusut. Ibarat mata rantai perdagangan, KPK bergerak di level hilir, sedangkan di level hulu, sebenarnya terdapat institusi yang juga berkontribusi besar terhadap pengungkapan penyelewengan, baik itu keuangan maupun kinerja, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Sebenarnya terdapat tiga tahap pelaksanaan audit keuangan atau kinerja untuk mengungkap penyelewengan, yakni preventif, detentif, dan represi. Dalam hal ini, BPK bergerak dalam tahapan preventif dan detentif,” kata Staf BPK RI, Oktarina Ayoe Sandha, saat menyampaikan seminar bertemakan Integritas dan Fraud, di Aula Unpas, Jln. Tamansari, Bandung, Selasa (21/5/2013).

Dalam level preventif, BPK bertugas mengamati pengalokasian keuangan, apakah sudah sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini, efektivitas dan efisiensi pengalokasian keuangan menjadi fokus utamanya. Sementara itu, dalam tahapan detentif, BPK lebih beroperasi dalam tataran yang sifatnya investigatif.

Oktarikna mengatakan, dalam fase tersebut BPK masuk lebih jauh dari sekadar memeriksa efisiensi dan efektivitas, yakni dengan memeriksa juga apakah ada unsur tindakan ilegal juga didalamnya sehingga menyebabkan kerugian negara. Kewenangan BPK untuk menginvestigasi juga memiliki dasar hukumnya, yakni melalui Pasal 13 UU 15/2004 PPTJKN.

Pasal tersebut mengungkapkan bahwa pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah, dan/atau unsur pidana. Pada dasarnya, setiap temuan BPK dilaporkan ke lembaga legislatif hingga Presiden. Akan tetapi, bila ditemukan indikasi tindak pidana, temuan itu juga disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dalam hal ini BPK tidak berwenang melakukan tindakan penangkapan dan sebagainya. Itu sudah termasuk tahap represi. Di tahap represilah selama ini KPK berada,” katanya.

Dia menambahkan, dari sudut pandang beban biaya operasi, tahapan preventif dan detentif tidaklah sebesar tahapan represif. Menurutnya, beban biaya operasi di tahapan preventif dan detentif jauh lebih murah. “Tahapan represif itu memakan biaya yang sangat besar. Bila kita ambil contoh KPK, itu memakan biaya besar, mulai dari jumlah tim yang beroperasi, lamanya waktu penugasan, hingga masalah teknis, seperti cek fisik suatu kasus,” ujarnya.

Saat ini jumlah auditor BPK secara keseluruhannya mencapai 3.000 orang. Akan tetapi, jumlah tersebut ternyata masih belum ideal bila dibandingkan dengan jumlah entitas yang harus ditangani. Oleh sebab itu, menurut Oktarina, pihaknya terus merekrut auditor baru setiap tahunnya.

“Auditor kami harus memenuhi sejumlah kriteria, seperti rasa ingin tahu, mampu memahami bisnis, berakal sehat, tak mudah menyerah, percaya diri, serta kreatif,” ujarnya.

Pikiran Rakyat

Bagikan konten ini: