BANNER SLIDE

BPK Cermati Injeksi Modal Bank Mutiara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan atensi terhadap proses penambahan modal Rp1,25 triliun oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada PT Bank Mutiara.

Menurut auditor eksternal pemerintah itu, proses penambahan modal belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan berlaku. Hal itu antara lain disebabkan ketiadaan transparansi dalam laporan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Mutiara.

"Posisi KPMM tidak disampaikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada laporan kondisi keuangan publikasi Juni sampai dengan November 2013," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di sidang paripurna DPR dengan agenda Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014, di Jakarta, kemarin.

Di samping itu, ujar eks politikus Partai Golkar tersebut, terdapat pengelolaan kredit oleh manajemen Bank Mutiara yang diduga tidak sesuai ketentuan. "Proses restrukturisasi pada 10 debitur dengan baki debet per 30 Juni 2013 senilai Rp787,35 miliar tidak mengikuti ketentuan BI dan kebijakan-kebijakan internal PT BM (Bank Mutiara)," kata dia.

Anggota BPK Achsanul Qosasi menambahkan, dari alasan penambahan modal itu, BPK juga menemukan pengelolaan kredit lama, termasuk dengan upaya restrukrisasi oleh Bank Mutiara yang tidak sesuai regulasi perbankan. BPK menemukan tunggakan bunga kredit lama tersebut telah terjadi selama 12 bulan dan akhirnya membuat tingkat solvabilitas dan rentabilitas Mutiara sangat lemah. Dengan begitu, Bank Mutiara diduga tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam hal prospek usaha, kemampuan membayar, dan agunan dari para debitur.

Adapun suntikan modal Rp1,25 triliun oleh LPS kepada Bank Mutiara dilakukan akhir Desember 2013 setelah laporan Bank Indonesia perihal anjloknya rasio kecukupan modal minimum bank.

Sementara itu, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014, BPK menemukan 14.854 kasus senilai Rp30,87 triliun. "Terdiri atas kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) 6.531 kasus dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak 8.323 kasus senilai Rp30,87 triliun," ungkap Harry.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.900 kasus senilai Rp25,74 triliun merupakan temuan yang berdampak finansial atau yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan. (Ids/Ant/E-2)

Media Indonesia

Bagikan konten ini: