BPK : Penyaluran Subsidi Tidak Tepat Sasaran
Membengkak hingga 252 persen, subsidi hanya dinikmati orang kaya
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai penyaluran subsidi oleh pemerintah untuk tahun anggaran 2013 belum tepat sasaran. Menurut Ketua BPK, Rizal Djalil, selama lima tahun terakhir, alokasi subsidi energi dan non-energi mengambil proporsi 20-30 persen dari total belanja pemerintah pusat. "Tapi pemerintah belum memiliki kebijakan dan kriteria yang jelas untuk sasaran subsidi," kata dia di gedung Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.
Catatan BPK menyebutkan, anggaran subsidi dari pemerintah meningkat tajam dari 2009 hingga 2013. Pada 2009, total subsidi yang dianggarkan mencapai Rp 138,1 triliun. Nilainya membengkak 252 persen menjadi Rp 348,1 triliun pada 2013. Namun, kata Rizal, kenaikan subsidi tersebut tidak dibarengi dengan pengawasan penyalurannya. Rizal mengambil contoh subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran karena masih banyak digunakan oleh golongan masyarakat mampu. Demikian pula dengan subsidi listrik, karena lebih banyak dinikmati pelanggan besar, pelanggan menengah, dan pelanggan khusus.
Hal berbeda terjadi pada penyaluran subsidi pupuk. BPK menemukan fakta adanya selisih penetapan nilai subsidi pupuk yang melebihi seharusnya. Selisih tersebut mencapai Rp 498,44 miliar. Selain itu, ada kekurangan pembayaran subsidi oleh pemerintah sebesar Rp 6,63 triliun. Menurut Rizal, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah belum cermat menentukan nilai subsidi. Gejala ini juga terlihat dari indikasi penetapan harga pokok penjualan (HPP) pupuk bersubsidi yang terlalu tinggi. BPK menduga perusahaan pupuk skala besar menikmati keuntungan yang tidak seharusnya.
Agar masalah semacam ini bisa dihindari, Rizal menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi dan merancang ulang kebijakan subsidi. Dengan merancang ulang mekanisme penyaluran, dia mengharapkan subsidi bisa tepat sasaran. Hal lain yang diperlukan adalah memperbaiki basis data dan membuat mekanisme seleksi penerima subsidi secara lebih transparan serta akuntabel.
Persoalan subsidi, khususnya subsidi listrik, juga menjadi sorotan utama BPK pada tahun lalu. Merujuk pada hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat pada 2012, sebanyak .1.469.994 pelanggan dari kalangan menengah, pelanggan besar, pemerintah, dan pelanggan khusus masih mendapatkan subsidi listrik sebesar Rp 44,6 triliun.
Dalam diskusi di Padang, Ahad lalu, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Yudha Agung, mengatakan Indonesia harus segera melakukan reformasi struktural karena berbagai kebijakan moneter yang sudah dilakukan bank sentral belum mampu mengatasi defisit neraca transaksi berjalan.
Salah satu bentuk reformasi yang harus segera dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM dan listrik. Sebab, subsidi tersebut mempersempit ruang fiskal, terutama untuk belanja modal. "Indonesia pun menjadi sangat rentan terhadap harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang," kata Yudha.
Demi menghemat anggaran, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan akan memangkas kuota BBM bersubsidi sebanyak 2 juta kiloliter. Pemerintah akan mengurangi penyaluran BBM bersubsidi jenis Premium, sedangkan kuota solar murah akan ditambah. "Industri berkembang sehingga kebutuhan solar naik," kata Jero di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin.
Menurut Jero, konsumsi Premium menurun setelah harganya dinaikkan tahun lalu. Dia yakin konsumsi BBM akan semakin berkurang jika pemilihan presiden berlangsung dalam satu putaran. Untuk membantu penghematan, pemerintah tetap menjalankan konversi bahan bakar gas serta melarang penggunaan BBM bersubsidi oleh angkutan perkebunan, pertambangan, dan pemerintahan.
Koran Tempo