BANNER SLIDE

Cost Recovery Migas Ditetapkan Rp 192 Triliun

Jakarta - Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI dalam rapat dengan pemerintah yang diwakili Plt. Kepala SKK Migas Johannes Widjonarko mengesahkan cost recovery migas pada RAPBN 2015 sebesar USS 16 miliar atau senilai Rp 192 triliun. "Dengan ini disetujui anggaran recover) cost 2015 sebesar USS 16 miliar," kata ketua rapat, Tamsil Linrung di Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (22/9).

Recovery cost sendiri adalah uang pengganti biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan pemroduksian minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja. Kontraktor berhak mendapatkan recovery cost setelah ladang minyak dan gas dapat berproduksi secara komersial, melalui sistem bagi hasil dengan negara. Untuk 2011, dana dikembalikan pemerintah ke pengelola sumur migas mencapai USS 15,22 miliar, pada 2012 sebesar US$15.51 miliar, dan 2013 realisasinya mencapai USS15.92 miliar.

Dalam rapat tersebut, pemerintah melalui SKK Migas meminta kenaikan jumlah recovery cost dari APBN-P 2014 sebesar US$15 miliar menjadi US$17,8 miliar pada RAPBN 2015. Permintaan kenaikan recovery cost tersebut dilakukan dengan alasan adanya perkiraan kenaikan produksi lifting minyak dari 818 ribu barel perhari (bph) pada tahun 2014 menjadi 900 bph pada 2015. "Akibat adanya kenaikan lifting minyak, akhirnya cost recovery naik," kata Johannes.

Namun dalam rapat kerja tersebut, DPR hanya menyetujui penambahan sebesar US$1 miliar. Menanggapi keputusan itu, Johannes mengatakan akan melakukan konsolidasi kedalam guna melaksanakan hasil rapat tersebut. "Kami akan lakukan konsolidasi, berbicara dengan kontraktor serta rekan-rekan yang bekerjasama dengan kami," katanya.

Anggota Fraksi Demokrat Jhonny Allen Marbun menegaskan tidak sepakat cost recovery mencapai US$ 16 miliar. Buat dia angka masuk akal US$15,5 miliar. Alasannya, ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan untuk nota keuangan 2013, bahwa beberapa komponen pengembalian dana diajukan KKKS tidak sesuai peraturan. "Produksi naik, otomatis cost recovery naik. Kenapa bagian pemerintah malah turun," ujarnya.


Temuan BPK

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan oleh 8 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas). Sehingga berakibat pada kekurangan penerimaan negara Rp 994,80 miliar. "Ada ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari sektor migas senilai Rp 99480. miliar," ujar Ketua BPK Hadi Poernomo, saat itu.

Penyebab utamanya adalah belum optimal Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu minyak dan gas bumi (SKK Migas) dalam tugasnya. Dengan membiarkan negara kehilangaan penerimaan dalam jumlah besar. "SKK Migas sebagai penyelengara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan cost recovery perpajakan," sebutnya.

Menurut Hadi, ketidakpatuhan KKKS yang dimaksud adalah dengan membebankan biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan pada cost recovery. Di mana kemudian mengurangi nilai bagi hasil produksi migas. "Pembebanan biaya-biaya tersebut akan mengurangi nilai bagi hasil produksi migas yang berdampak pada pengurangan penerimaan negara," jelasnya.

Ketidakpatuhan berlanjut pada kontraktor yang terkait dengan perpajakan. Seperti pemerintah yang belum memperoleh bagian pendapatan dari bagi hasil pengolahan kegiatan hulu migas minimal USS 11,896.93 juta atas kewajiban pembayaran pajak Perseroan (PPs), dan pajak bunga dividen dan Royalti (PDBR) bagian kontraktor tahun 2011 dan 2012 masing-masing USS 4,943 juta dan USS 6,953 juta.

"Selain itu, adanya denda keterlambatan pembayaran pajak pertambahan nilai yang belum disetor oleh kontraktor ke kas negara senilai USS 279,89 ribu dan pembayaran pajak penghasilan pemegang participating interest (PI) tidak sesuai tarif production sharing contract (PSC) senilai US$881,52ribu," imbuhnya.

Atas kasus tersebut, Anggota DPR RI Komisi VII Rofl Munawar meminta SKK Migas serius dalam melaksanakan rekomendasi dan menindaklanjuti temuan BPK.

Harian Ekonomi Neraca

Bagikan konten ini: