Pemeriksaan BPK Atas Industri Hulu Migas
Wakil Ketua BPK RI, Hasan Bisri, menghadiri dan menjadi nara sumber pada acara Workshop Pengawasan Tata Kelola Industri Hulu Migas dengan tema ”Optimalisasi Pengawasan Tata Kelola Industri Hulu Migas Indonesia Untuk Sebesar-besarnya Manfaat Bagi Bangsa,” yang dilaksanakan pada Rabu, 2 Oktober 2013, di Jakarta.
Pada acara yang dihadiri oleh Plt Kepala SKK Migas Johanes Widjanarko, dan pejabat di lingkungan SKK MIgas, Wakil Ketua BPK RI menyampaikan pemaparan mengenai Pemeriksaan BPK Atas industrI Hulu Migas (Mengawal Migas Untuk Kepentingan Rakyat).
Dalam pemaparannya, Wakil Ketua BPK RI mengatakan pembahasan mengenai pemeriksaan BPK RI di sektor Hulu Migas harus dimulai dengan penyamaan persepsi apakah sumber daya migas yang ada di wilayah Indonesia adalah milik negara, dan apakah cost recovery merupakan bagian dari keuangan negara atau keuangan privat.
Untuk bisa menyamakan persepsi tentang status hukum cost recovery maka harus ada persamaan persepsi mengenai definisi dan unsur- unsur keuangan negara, definisi serta unsur- unsur cost recovery.
Unsur- unsur keuangan negara antara lain hak negara memungut pajak, salah satu sumber yang diharapkan dari eksplorasi migas adalah dengan memungut pajak. Selain itu unsur keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum, serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.
Sedangkan cost recovery menurut UU Nomor 22/2001 Pasal 4 ayat (1) mengatakan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
“Jika dilihat dari karekteristik cost recovery dan dikaitkan dengan definisi dan unsur keuangan negara, maka cost recovery adalah bagian dari keuangan negara, kalau kita sepakat dengan hal tersebut, maka berlakulah kaidah-kaidah keuangan negara,”jelas Wakil Ketua BPK RI dihadapan para peserta workshop.
Selain itu, Wakil Ketua BPK RI juga menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, BPK RI sudah berprinsip bahwa audit yang dilakukan adalah audit berbasis risiko. Terkait hal tersebut maka BPK RI mengindentifikasi potensi risiko-risiko pada industri Hulu Migas antara lain, yaitu risiko kegagalan eksplorasi, risiko peraturan, perundang-undangan dan kebijakan yang tidak sejalan dengan Production Sharing Contract (PSC), risiko pengadaan PSC yang tidak sesuai ketentuan, serta resiko pengalihan pemilikan wilayah eksplorasi.
Risiko-risiko tersebut harus bisa dikendalikan dengan cara mengindentifikasi semua risiko yang kemungkinan akan terjadi, pimpinan SKK Migas harus lebih pandai dan cerdik serta harus dapat meminimalisir potensi risiko yang terjadi. Jangan sampai kegagalan atau persoalan yang sama terjadi lagi.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI terhadap SKK Migas masih ditemukan beberapa permasalahan yang menjadi temuan pemeriksaan BPK RI antara lain sistem informasi evaluasi dan monitoring AFE belum tersedia, klausul pencadangan dana Abandomenment and Site Restoration (ASR) belum tercantum dalam setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), formula rig service, pengawasan eksplorasi lemah, serta status kekayaan negara pada SKK Migas belum ditetapkan.
Untuk kemajuan SKK Migas di masa mendatang, Wakil Ketua BPK RI menghimbau kepada seluruh jajaran SKK Migas untuk memperbaharui komitmen dengan menghindari kekuasaan mutlak pada satu orang, membuat sistem untuk meminimalkan risiko, membuat desain dan menerapkan fraud control system serta, membudayakan kerja bersih, transparan dan akuntabel.