BANNER SLIDE

Penyimpangan Laporan Keuangan, Negara Rugi Rp 12,48 Triliun

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 13.105 kasus penyimpangan laporan keuangan semester pertama 2012 di sejumlah kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara. Menurut Ketua BPK Hadi Poernomo, penyimpangan ini mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 12,48 triliun.

Dari belasan ribu temuan itu, BPK menyoroti beberapa kasus penting, di antaranya pengadaan kartu tanda penduduk elektronik berbasis nomor induk kependudukan. Program yang dimulai pada 2011 tersebut berpotensi merugikan negara Rp 71,95 miliar.

Anggota BPK yang membidangi pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah Sumatera dan Jawa; Sapto Amal, mengatakan negara dirugikan karena penetapan harga dalam proyek KTP elektronik oleh kontraktor tidak dilakukan berdasarkan survei. "Harga peralatan berdasarkan penawaran oleh konsorsium pemenang lelang," katanya kemarin.

Selain itu, menurut Sapto, panitia pengadaan tetap meloloskan penyedia jasa atau kontraktor walaupun harga tidak sesuai. "Panitia pengadaan juga tidak bernegosiasi atas harga yang ditawarkan," katanya.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, mengakui dalam penyelenggaraan KTP elektronik pada 2011 didapati sejumlah masalah. "Tahun lalu memang rumit, waktu kami habis untuk masa lelang. Namun seluruh rekomendasi BPK sudah kami laksanakan, termasuk mengganti konsorsium perusahaan (pemenang lelang)," katanya kemarin.

Hadi melanjutkan, BPK menemukan pula penyimpangan pada 81 badan usaha milik negara, berupa ketidakpatuhan pengelolaan keuangan negara. Akibatnya, negara berpotensi dirugikan sekitar Rp 2,5 triliun dari 63 kasus yang ditemukan.

Penyimpangan lainnya yang telah dapat ditelisik lembaga auditor negara ini adalah anggaran perjalanan dinas pada pemerintah daerah dan pusat. Menurut Hadi, pada pemeriksaan semester lalu, penyalahgunaan anggaran perjalanan dinas menyebabkan kerugian negara senilai Rp 77 miliar.

Wakil Ketua BPK Hasan Bisri menjelaskan, penyelewengan terjadi akibat lemahnya sistem akuntansi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Biaya perjalanan dinas tak muncul dalam satu mata anggaran sendiri, melainkan terselip di antara pos belanja barang. "Ini menyebabkan kontrol lemah," katanya kemarin.

Koran Tempo

Bagikan konten ini: