Monitoring Kuat untuk Berantas Korupsi
Penjelasan mengenai monitoring yang kuat ini diawali dengan paparan Ketua BPK yang menjelaskan tentang tugas, dasar hukum, kedudukan, nilai, kewenangan, serta kewajiban BPK sebagai lembaga negara. Setiap tahun BPK menghasilkan ±1.250 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) per tahun. Laporan tersebut terbagi dalam yang mandatori sejumlah ±700 LHP per tahun dengan pemeriksaan keuangan yang pemeriksaannya dilakukan menggunakan metode sampling. Sedangkan yang bukan mandatori berjumlah ±550 LHP per tahun dengan pemeriksaan kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), dan investigatif yang pemeriksaannya dilakukan menggunakan metode populasi.
Jumlah auditor di BPK adalah sekitar 2.900-an pegawai di seluruh Indonesia yang melakukan tugas pemeriksaan. “Dengan kondisi ini, BPK mendapat tantangan untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan kewajiban dan kewenangan yang ada,” jelas Ketua BPK di hadapan ratusan mahasiswa ITB. Menurutnya, korupsi terjadi karena ada niat dan kesempatan. Kesempatan ini dapat ditutup oleh BPK dengan fraud control system.
Di samping itu, untuk mengurangi kesempatan, diperlukan monitoring yang kuat, yaitu dengan Pusat Data Nasional (PDN). “Untuk mempunyai PDN ini harus ada dasar hukum, sinergi, dan konsisten. Harus mengalir data secara sistemik ke pusat data nasional,” jelas Ketua BPK. Dalam PDN terdapat keuangan privat dan publik. Data keuangan privat yaitu laporan keuangan dan/atau laporan keuangan kegiatan usaha, nasabah debitur, lalu lintas devisa, kartu kredit, dan transaksi keuangan.
Untuk mewujudkannya menjadi pusat data privat, ada dasar hukumnya. Disebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang disebutkan sebelumnya kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ini disebutkan dalam Pasal 35A UU 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal ini disinergikan di Pusat Data Pemerintah (PDP).
Sedangkan data keuangan publik meliputi APBN, APBD, capital expenditure, operational expenditure, dan lain sebagainya. Setiap tahunnya, pemerintah memiliki anggaran teknologi informasi untuk seluruh pengelola keuangan negara, yang memiliki output. “Output ini di-link and match dengan BPK. Dasar hukumnya, ada di Pasal 9 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Pasal 24 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dimana disebutkan BPK berwenang meminta data/dokumen kepada para pengelola keuangan negara, dan bagi yang tidak menyerahkannya dikenakan sanksi pidana,” papar Ketua BPK.
Sinerginya dilakukan melalui MoU dengan instansi pemerintah, dan selanjutnya digabungkan dalam Pusat Data BPK. Pusat Data Pemerintah dan Pusat Data BPK itu disatukan menjadi Pusat Data Nasional.