BERITA UTAMA

Sengketa Kewenangan Pembelian Saham PT Newmont

Sidang perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) sampai saat ini masih berlangsung. Terhitung sudah tujuh kali sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) berlangsung dengan agenda sidang pertama adalah pemeriksaan pendahuluan, sidang kedua perbaikan permohonan dan mendengarkan jawaban Termohon I (DPR) dan Termohon II (BPK), dan sidang-sidang berikutnya mendengarkan keterangan ahli dari pemohon, termohon, dan MK. Perbedaan pendapat terus berlangsung antara dua pihak melalui pernyataan para ahli. Perkara tersebut berawal dari hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh BPK, yang menyatakan bahwa pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), sebuah perseroan tertutup, tahun 2010 merupakan kegiatan pemisahan keuangan negara dari APBN ke swasta yang harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pembelian saham PT NNT dilakukan oleh BPK berdasarkan permintaan DPR melalui surat Nomor:PW.01/5188/DPR RI/VI/2011 tertanggal 21 Juni 2011. Pemohon yang dalam hal ini adalah Presiden RI (diwakili oleh kuasa hukumnya) berpendapat bahwa pembelian 7% saham divestasi PT NNT Tahun 2010 oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dilakukan untuk dan atas nama Pemerintah RI dalam keadaan normal dan bukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional sehingga tidak perlu persetujuan DPR dan tidak tunduk pada ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2003. Oleh karena itu, atas hasil pemeriksaan BPK tersebut, DPR dan BPK dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan kostitusional pemohon. BPK menguraikan dalam laporan hasil pemeriksaannya, hasil penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan diketahui bahwa ketentuan Pasal 24 UU Nomor 17 Tahun 2003 antara lain mengatur hubungan antara pemerintah dengan perusahaan negara, daerah dan swasta. Pada pasal tersebul dijelaskan aturan mengenai pemberian pinjaman/hibah/pernyertaan modal pada perusahaan negara dan daerah dapat diberikan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, sedangkan pada swasta pemberian pinjaman/penyertaan modal hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional setelah memperoleh persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, BPK menyimpulkan bahwa penyertaan modal pada perusahaan negara/daerah baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan tertentu harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Pada prinsipnya pemerintah tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap perusahaan swasta, sehingga pemerintah tidak memiliki keharusan memberikan penyertaan modal kepada perusahaan-perusahaan swasta. Namun demikian apabila terdapat kondisi yang mengancam perekonomian nasional, pemerintah diperkenankan untuk melakukan penyelamatan dengan cara memberikan pinjaman atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta tersebut dengan melalui persetujuan dari DPR sebagai wakil rakyat. Prof. Dr. Bagir Manan (salah satu ahli dari BPK) menyatakan bahwa BPK berwenang memberikan pendapat sepanjang menyangkut pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diatur UU Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 11 huruf a. Wewenang tersebut merupakan wewenang eksklusif BPK yang tidak dibagi dengan pihak lain, termasuk dengan Presiden (Pemerintah), maka Presiden (Pemerintah) tidak mempunyai wewenang memberikan pendapat sebagaimana dimaksud UU tersebut. Dengan demikian tidak mungkin ada sengketa wewenang antara BPK dengan Presiden (Pemerintah). Berdasarkan pendapat para ahli dari Termohon II (Prof. Dr. Frans Limahelu, SH; Prof. Dr. Muchsan, SH; Drs. Siswo Sujanto, DEA; Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis; Dr. Revisond Baswir; Dr. Ni’matul Huda; Dr. Irmanputra Sidin; dan Prof. Dr. Bagir Manan, SH) disimpulkan bahwa : (1) pembelian 7 persen saham PT NNT oleh PIP tidak dapat digolongkan lain kecuali sebagai investasi langsung atau penyertaan modal, sehingga harus dibahas dan disetujui terlebih dahulu oleh DPR sebelum dilaksanakan; (2) pemeriksaan BPK terhadap proses pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 oleh PIP atas permintaan DPR merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK sebagai bentuk dari kewajiban konstitusionalnya sehingga tidak ada unsur melampaui wewenang, maupun sebagai tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang. Sementara itu, Dr. Anggito Abimanyu, dosen FE UGM, ahli yang dihadirkan oleh MK mengatakan bahwa berdasar hasil kajiannya menunjukkan alokasi dana divestasi 7 persen saham PT NNT belum terinci dalam Rencana Kegiatan Investasi ataupun Rencana Bisnis dan Anggaran PIP 2011. Selain itu, rincian Belanja Satuan Kerja Investasi Pemerintah pada APBN 2011 telah tercantum angka Rp1 triliun sehingga belum mencukupi untuk pembelian 7 persen saham PT NNT. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembelian 7 persen saham PT NNT oleh pemerintah cq PIP masih memerlukan persetujuan komisi terkait DPR sebagai kelengkapan persetujuan APBN. Said Didu, mantan Sekretaris Menteri Kementerian BUMN, ahli lain yang dihadirkan oleh DPR mengatakan bahwa rencana pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT oleh pemerintah dinilai harus melalui persetujuan DPR. "Kasus divestasi ini terkait disiplin anggaran. Artinya, bila pemerintah tidak menyebutkan rencananya dalam APBN, tentunya anggaran tidak boleh digunakan tanpa persetujuan dari DPR, " kata Said Didu. Ia juga menegaskan, hasil audit BPK sebaiknya tidak digugat. Implikasinya sangat luas yakni berupa ketidakpastian hukum terhadap lembaga negara. "Jika hasil auditor bisa digugat, berarti setiap koruptor yang dinyatakan merugikan negara berdasarkan hasil audit BPK bisa menggugat dong?", kata Said Didu. Sidang SKLN di MK akan kembali digelar pada hari Selasa, 8 Mei 2012 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon dan termohon.

Keterangan Ahli BPK:

Bagikan konten ini: